Petruk Nderes Urip

Ahmaddahri.my.id - Hidup adalah sebuah perjalanan, pun juga penantian. Dalam arti perjalanan karena hidup adalah keberlangsungan yang pengetahuannya bisa berakar dari perjalanan manusia sebalumnya, pun petunjuk dari berbagai perjumpaan dan pembacaan. Selaras dengan perintah Tuhan bahwa perjalanan hidup adalah pembacaan atas segala hal yang dijumpai pun dilalui. Sehingga menjadi pelajaran penting atau evaluasi diri menjadi lebih baik dari sebelumnya. 

Pelajaran utama yang kerap dijumpai adalah bagaimana peradaban itu ditata dan berbagai peristiwa yang membersamainya. Nabi Muhammad memberi gambaran bahwa shalatlah seperti engkau melihat shalatku. Artinya pelajaran ini bukan berlaku bagi para sahabat saat itu, tetapi berlangsung bagi kehidupan selanjutnya. Bahwa shalat sebagai nilai itu hadir dalam berbagai peristiwa, pun menjadi tanda dari syariat yang dikerjakan sebagai pengabdian hamba kepada Tuhannya. 

Pribumi.Wordpress.com
Petruk pagi itu mendapat wejang agak serius dari Ki Lurah Semar, apalagi perihal hidup ini yang kadang masih ditanyakan tujuannya. "Hidup itu hakikatnya menunggu jatah pulang, jadi persiapkan bekal untuk pulang menghadap Tuhan"  suara Semar tampak serius. 

Kita tahu, bahwa Petruk Kantong Bolong adalah punakawan yang cerdas, ia pernah menjadi ratu. Bahkan konon diceritakan kalau Petruk memiliki kamukten karena bisa menjembatani dewa dan titah (ciptaan). Kalau hari ini, kira-kira petruk adalah mereka yang memiliki hasrat atas pengetahuan dan kedudukan, namun masih gegayuh kaluhuran, memperdalam spiritualitasnya. Biasanya dalam kondisi  ini kebanyakan kemrungsungnya, lebih banyak hasrat atas kehendak dirinya. Tidak masalah, itu bagus, sebagai ciptaan Sang Hyang Wenang, sebagai makhluk kita hanya menjalankan titahNya, Tuhan mengatur segala yang melekat di dalam diri, tetapi memberi keluasan untuk bersikap atas dirinya sendiri. 

Petruk merenungi apa yang disampaikan bapaknya itu, selama ini ia telah bertemu dengan siapapun, dari golongan apapun, baik priyai, bangsawan, brahmana bahkan kasta terendah dalam tradisi jawa pun ia jumpai. Kalau masalah pergaulan ia dan Bagong memang tidak diragukan. Tetapi perenungannya terhenti seketika ia ingat bahwa memang mencari bekal untuk pulang itu sangat penting, jika rupanya adalah "kebaikan" sebagai laku horizontalnya, maka bersikap dan berpikir baik kepada siapapun adalah laku moralitas yang bisa menjadi piranti untuk menuju "baik". 

Kita perlu mengingat cara dan jarak pandang yang pernah ditawarkan oleh Mbah Nun tentang "segitiga  cinta". Semua garis selalu berkaitan dan menopang; ikhtisar, vertikal, dan horizontal. Adalah sebuah upaya untuk menjalin cinta kasih dan menyatakan rahman rahimNya dengan menebar kebaikan kepada sesama, gondelan kanjeng nabi Muhammad, dan berusaha mengabdi kepada Tuhan dalam hal apapun. 

Dari sudut pandang itu, tentu petruk akhirnya mengingat apa yang dikatakan Nabi melalui Abu Hurairah bahwa "Yang Tuhan Lihat bukanlah apa yang melekat di dalam fisik luarmu, bahkan Tuhan tidak melihat seberapa banyak kepemilikanmu atas harta benda, melainkan yang Tuhan Lihat adalah ketulusan hatimu dan cintamu kepada sesama manusia, kanjeng Nabi Muhammad dan pengabdian yang tulus padaNya." 

Artinya, mau seburuk apapun rupa, dan segombal mukio apapun diri kita, bukan itu yang dilihat oleh Tuhan, melainkan bagaimana moralitas kita dan cinta kita, baik secara horizontal, ikhtisar maupun vertikal. Mbok ya jangan terlalu mikir casing, memang ajine diri saka busana, tetapi busana itu sifatnya benar-benar sementara, kalau sudah lusuh dan kotor pasti ditanggalkan, telanjanglah akhirnya. 

Semar membenarkan apa yang direnungkan oleh Petruk. "Wajah, Pakaian, dan berbagai pernak-pernik di permukaan hanyalah sebatas hiasan, yang sewaktu-waktu bisa luntur dan tanggal, beda dengan moralitas, beda dengan akhlak al-karimah, beda pula dengan prinsip sosial kemanusiaan, jadi mencari bekal pulang itu sederhana, cukupkanlah kita dalam berbuat dan berpikir baik kepada siapapun. Kalau bisa kita ini sudah nggak ngrasa bahkan tidak tahu kalau yang kita lakukan itu baik, pada intinya istiqamah berbuat baik dan tidak menyakiti siapapun."

Petruk menggut-manggut, rupanya ia sepakat dengan wejang gesang bapaknya. Sepintas lalu memang kata "baik" sangatlah umum, bahkan proporsional sekali. Di samping itu, peemahaman antara satu dengan lain pasti beragam. Daripada waton gawar ngawur, mending fokus berlaku dan bersikap baik saja, buka memetakan kebaikan ini atau itu. Akan menjadi beda pemahaman ketika satu kata itu menjadi sifat atau objek dari laku yang dikaji, subjektif sekali akhirnya. Menyatakan pesan Tuhan tentang Iapun begitu Memuliakan Bani Adam, maka sebagai ciptaanNya, dan juga Bani Adam kita perlu dan wajib memuliakan semuanya. 

Petruk memang bukan manusia mulai, tetapi mau dan berkehendak merenungi kehidupan adalah bagian dari titah hamba yang tidak bisa ditinggalkan. Menjadi dan berbuat baik kepada sesama, adalah bekal utama lautan cinta menuju pulang. Menuju pada rebah yang nyaman. Karena sejatinya hidup adalah menunggu waktu pulang. Agar pulang itu tidak terhambat oleh rangkaian kemrungsungan, maka istiqamah laku becik, bener lan pener, adalah pola mencari bekal pulang. 

Petruk menanyakan hakikat hidup bukanlah semata ngaji tentang rasa, tetapi ngaji tentang peradaban dan kebudayaan manusia. Bekal pemikiran yang membedakan dengan makhluk lain adalah bekal luhur yang akhirnya menciptakan olah rasa, cipta dan karsa. Sehingga mencintai bukan hanya sebatas ungkapan dan pelayanan, melainkan moralitas dan nilai luhur yang diemban.[]

Posting Komentar

1 Komentar