Membagong Bersama-sama

Ahmaddahri.my.id - Beberapa hari ini jalan-jalan kian ramai dengan baliho-baliho yang penuh dengan wajah sumringah, hiasan dan foto yang terpancar menunjukkan kondisi "seakan-akan" teges tenan. Padahal pendar langit kiat menunjukkan kalau angin selatan belum benar-benar beradu mesra dengan angin utara. Sehingga teriknya benar-benar menyengat badan dan menyisakan kehausan serta keringnya kerongkongan. Bisa jadi itu juga yang membuat para karang taruna malas bicara, begitu juga si Bagong. 

Biasanya, mas Bagong kalau sudah ngeroll tidak ada lawan tandingnya. Berdebat di forum-forum diskusi dan berbagai advokasi sama sekali tak terkalahkan. Retorikanya mengalahkan kakaknya yang tangannya panjang sebelah; Gareng. Kedalaman berpikirnya membrahmana mengungguli pada resi dan betara. Bagong yang biasanya los tanpa tendheng aling-aling memuncratkan gagasannya dan kritiknya kepada para pejabat desa, kini diam seribu bahasa. Tangannya sendeku terus di atas lipatan kakinya. 

"Kamu kenapa Ngger?" Tanya Ki Semar penuh rayu

Bagong tetap tak bergeming, ia malah memejamkan matanya yang besar itu. Seperti sangat lusuh dan lemas. Padahal pagi tadi, Bagong sudah sarapan dua tandan pisan barlin yang ia panen dari kebun di belakang rumahnya. Biasanya, ia juga senang sekali makan pepaya, bahkan ia kunyah juga biji-bijinya. Menurutnya, biji pepaya itu bisa jadi obat. Minimal obat waras, ora edan. 

Sebagai pemuda karangtaruna Karang Kadempel, seharusnya Bagong tetap menjaga stabilitas personalnya. Kalaupun ada problem, ya harus empan papan, menempatkan pada tempatnya. Mana wilayah prifat dan mana wilayah publik. Di era serba teknologi dan medsos ini, agaknya gamang dan penuh dengan kekagetan-kekaghetan. Kalau melihat riwayat dan pengalaman Bagong tentu tidak mudah tergoyah. Tetapi apa yang mendasari ia diam seribu bahasa ini?

Petruk dan Gareng berusaha merayu, tetapi tetap saja, Bagong seperti mbak-mbak yang sedang galau diputus kekasihnya. Biasanya, puisi dan kata mutiara muncul berseliweran dalam kondisi demikian. Tapi ini beda, Bagong menyembunyikan puisi dalam kata-kata. Kalau ia sedang merenungng, maka renungannya dalam sekali, mengalahkan keceriaan dan ketololannya, tapi nggenah. 

Kondisi desa Karangkadempel akhir-akhir ini sering kali kedatangan para pejabat tinggi, bahkan duta besar dan petinggi dari negara sebelah ikut nimbrum dan bersila di wisata desa Karangkadempel. Wisata pemandian dan wisata agro yang dikembangkan oleh masyarakat yang bekerjasama dengan pokdarwis (kelompok sadar wisata) berikut pihak desa lainnya, kecuali para sepuh seperti Ki Lurah Semar dan para sepuh lainnya. 


Bisa jadi permasalahan mlaku dewe, dan mengenyampingkan para sepuh itu jadi kegalauan Bagong sedalam ini. Bisa jadi juga bukan. Desa-desa hari ini kan harus berdikari untuk mbangun, menata kembali, agar berdaya. Bagus, asal pondasi pandang atau pondasi gagasan pembaharuan ini benar-benar kokoh. Tidak gampang meleyot terbawa angin. Tidak gampang roboh saat gempa dan lain sebagainya. Terkait Bagong kayaknya sedang memikirkan yang lain, bisa jadi habis bertengkar dengan pemuda karang taruna yang lain, atau sedang puber kedua? eitsss, bahaya ini. 

Petruk yang Bolong kantongnya kembali mencoba mengajak bicara baik-baik. "Le...., mbok ya kamu cerita kalau ada apa-apa, kangmasmu ini bisa memberi diajak sharing. Mau membahas tentang apa? budaya, sosial, politik, sains, agama atau ekonomi, monggo." Memang Petruk sejak dulu dikenal sebagai orang yang piawai dalam berbagai hal, terutama olah teoritisnya. Olah pikir itu penting, terutama dalam konteks epistimologis, sehingga tidak mudah mengeneralisir sesuatu. Minimal tidak pekok atas gagasan apapun. Termasuk pembangunan desa. Wong bisa jadi negara berdaya itu karena desanya yang gemah ripah. Artinya, desa itu adalah pusat peradaban manusia yang dapat mempengaruhi pergerakan masa depan sebuah wilayah bahkan negara dalam arti luasnya. 

Semakin lama, Petruk semakin nggladrah membahas pentingnya keterkaitan antara satu dengan lainnya. Bagong mulai melirik, matanya yang tadi seakan-akan sendu kini mulai ada gerakan lirikan yang juga menarik otot pipinya. Sehingga sedikit tampak nyengir. 

"Teruske cung, Bagong kayaknya tertarik dengan pembahasan ini, desa memang harus punya pemimpin yang bukan hanya populer, tapi tanggung jawab dan mau memperjuagkan itu yang paling dasar. Kalau hanya bondo populer, akeh tunggale." Gareng pun turut bersemangat. Pasalnya, manusia memang sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan atau terpaut pada manusia dan makhluk yang lain. Karena ya tidak bisa berdiri sendiri. Jika ada yang merasa demikian, sombong amat!!!!. Tidak perlu sebenarnya debat rebutan "benar" dalam konteks komunikasi sosial, yang terpenting adalah saling menghargai pandangan dan gagasan. Perbedaan itu sudah titah, dan natural, jadi jangan dikotori oleh kemrungsungnya keangkuhan "aku" dalam diri. Ilmu pengetahuan itu ada untuk mengukur seberapa kita menerima perkembangan, seberapa jauh kita mencari solusi, seberapa dalam kita menjaga prinsip dan lain sebagainya. Bukan hanya andon adu argumen. Toh, pada akhirnya yang memiliki gagasan atau teori luar biasa akan mengalami kegamangan saat berjumpa dengan wilayah praktisnya. Sehingga bukan pada pola mana yang paling, tetapi ayo bareng-bareng. 

Bagong mulai bereaksi, ia nyengir sedikit ngincup bibir sebalah kirinya. Bahkan Semar mulai mengelus pundaknya dan memberikan petuahnya. "Kamu boleh berpikir bahwa manusia itu punya segala ambisinya, tapi mbok ya jangan dipikir sendirian. Jatuhnya, kamu juga kalah atas ambisimu sendiri, ambisi mikir kuwi." Namun tidak merubah sikap Bagong. Walau begitu, Semar tetap melanjutkan pembicaraannya sambil bertiwikrama. 

"Bagong, ada masa di mana setiap manusia menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, mengatur pikirannya sendiri, jikapun bisa mempengaruhi orang lain itu hanya seperempat persen saja. Selebihnya tergantun dirinya sendiri menentukan sikap. Jadi jangan terlalu jauh mikir sesuatu yang di luar dirimu. Intinya adalah kembali pada dirimu, Menziarahi diri itu lebih penting dari pada mikir dan bahas polah pongkah manusia lain, bahkan pemimpin. Tapi ya jangan terlalu didiamkan juga, yang terpenting sekarang adalah bagaimana mengatasi diri sendiri itu dulu." Ki Lurah Semar mencoba membuka dan ngudari  benar ruwet yang dihadapi Bagong. 

Tanpa disadari, semua yang melingkar di hadapan Bagong saat itu menjadi mbagong. Memiliki pemikiran yang sama atas problem "bagong" dengan diamnya si Bagong. Selama ini, sama sekali tidak tergerak untuk menyadari perbedaan, khazanah pedesaan, lingkungan sekitar, pemimpin atau yang dipimpin, justru ngugemi atas pikiran dirinya sendiri, benernya sendiri. 

Semua gagasan dan kepedulian itu akhirnya tertuju pada satu titik yang sama, kemurungan Bagong. Pemimpin itu memang penting dalam satu wilayah, tapi mbok jangan terlalu digunggung, ya perlu lah sedikit kritikan, dikasih wawasan kesadaran biar menerima kelemahannya, bukan malah menutupinya. Karena tidak ada manusia yang sempurna, begitu juga pemimpin. Mau pemimpin yang personal ataupun impersonal, pada akhirnya harus mengulur kemampuan dan kelemahannya, biar tidak semena-mena, sak karepe udelle dewe dan para pemodalnya. Mau desa wisata, agro wisata, eko wisata dan yang lain, desa memang harus berdaulat, caranya adalah menata manusianya, soalnya adalah seberapa jauh menusia memahami atas alam dan lingkungannya? 

"Hemmmm, itulah yang membuat saya sedih dan gusar, bahkan merenung sejauh ini. Dari pada saya merenung sendirian, mbok ya ayo merenung bareng-bareng terus cari solusinya." Akhirnya Bagong buka suara. 

  


Posting Komentar

0 Komentar