Khong Guan dan Rengginang: Manusia Eksis


Bagaimanapun juga eksistensi dari setiap manusia itu penting. Dengan kepentingan yang tentu beragam. Seperti previlage atas apapun saja dalam lingkungan sosial pasti mempertimbangkan eksistensi. Sama-sama membahas tentang kebersihan dalam perspektif agama antara si A yang belum terkenal dan si B yang sudah naik daun sampai ke pucuk paling tinggi pasti berbeda tanggapannya. Peran eksistensi itu tampak dalam aspek kepentingan sosial.

Masih tidak percaya? Anda bisa melihat dai-dai di TV. Antara yang disampaikan guru-guru ngaji di kampung dengan dai-dai TV sebenarnya sama saja. Secara esensial terkadang lebih dalam guru-guru ngaji tersebut. Tetapi komoditas berbicara lain. Oleh karena itu manusia sebagai “pemegang karep” atau kehendak yang bergantung harus bisa menetralisir berbagai arus informasi yang masuk. Agar tidak mudah gawok. Sedikit-sedikit kagum.

Sakit hati itu lahir karena tidak adanya kesesuaian dengan harapan. Merasa memiliki dan mengutamakan “seakan-akan”. Padahal kita sebagai individu sama sekali tidak bisa mengendalikan apa-apa yang ada di luar kita. Jika pun ikut arus kita maka hanya terbatas waktu. Temporer dan pasti akan ada kejenuhan.

Sayangnya paradigma “Wis Kadung” atau sudah terlanjur itu menjadi sesuatu yang bisa terjadi. Bahkan dianggap lumrah. Afirmasi terhadap kekurangan orang lain. Dan menganggap orang lain lebih rendah dan kurang dibading ini dan itu. Justru tidak sama sekali membuka diri untuk bersikap dan berebut “rasa kurang”. Pilihan dalam hidup memang ada dua; menyadarinya atau tidak. Kalau sudah begitu tinggal mau memperbaiki atau tidak.

Dua hal di atas tentu harus diawali dengan penggalian dan pencarian secara ketat. Usahanya pasti ngos-ngosan. Seinstan-instannya mie instan pasti dimasak dulu. Walaupun taglinenya demikian mie goreng tetap direbus. Artinya pengolahan atas diri sendiri itu penting. Agar guru-guru ngaji di kampung tidak dilupakan. Agar tidak gampang kecentok pada rasa kagum sesaat. Karena kalau sudah kenal dan dekat sekali pilihannya ada dua; menerima kekurangannya atau kecewa.

Kalau sudah sakit hati yang dulunya dieluh-eluhkan akhirnya dibuang begitu saja. Makanya benar pesan Nabi Muhammad; kalau punya rasa cinta ya biasa-biasa saja. Karena siapa tahu hal itu akan menjadi paling dibenci ketika keterlaluan cintanya. Begitu juga sebaliknya. Membenci apapun itu biasa-biasa saja. Takutnya akan menjadi yang paling dicintai. Lebih-lebih takut kecelik.

Karena kecelik itu seperti halnya melihat bungkus Khong Guan tetapi isinya rengginang. Walaupun sudah lumrah pasti ada kecewanya. Dan kecewa itu adalah pintu dari kebencian. Anda mau dipenuhi rasa benci? Mending makan rengginang walaupun di dalam bungkus Khong Guan dari pada tidak sama sekali.

Posting Komentar

0 Komentar