Ngotot Mbudaya



Budaya hanya akan menjadi berhala ketika ia dirayakan saja. Berbeda saat budaya dialami, ia akan menjadi pengiling, petunjuk untuk selalu mengolah pikir, mengolah rasa, dan mengolah cipta. Budaya bukan semata seni atau tradisi, tetapi mencakup rangkaian proses kehidupan antara individu dengan individu yang lain, antara kelompok dengan kelompok lain secara holistik. Maka, salah ketika budaya hanya dianggap sebatas seni dan tradisi semata.

Kalau kita coba mengingat-ingat kembali bahwa pesan Allah kepada Nabi Muhammad adalah iqra’, dalam berbagai literasi kebahasaan iqra’ disepakati sebagai kata kerja yang berarti membaca, lebih jauh lagi membaca bukan hanya berlaku untuk kalimat teks semata, tetapi juga membaca fenomena yang terjadi, kondisi dan berbagai keadaan di sekitar kita. Dalam khazanah kejawaan dikenal ngerti sak durunge winarah artinya mukasyafah, tahu dan mengerti apa yang akan terjadi, bahwa sebelum ada tanda-tanda terkait itu.

Maka jangan pernah meremehkan proses pembacaan, atau kerja-kerja membaca. Karena kefatalan atas apa yang dilakukan adalah akibat dari ketidak tajaman dalam membaca, di samping itu juga karena kurangnya hati-hati. Terkadang kemlekatan, jabatan, pandangan umum, penghormatan, dan berbagai status sosial yang disandang menjadi piranti seseorang untuk bersikap ceroboh, bahwa itu dianggap pencapaian monggo, tetapi dalam suluk kebudayaan (yang kerap digaungkan oleh Mas Irfan Afifi) proses demikian itu masih pada tahap sebab – akibat. Masih terpikir pada bagaimana pandangan orang, mengharap kebaikan-kebaikan dan pujian-pujian dari khalayak, tanpa menimbang kejernihan hati dan olah rasa dari apa yang disebut maha karep, kehendak untuk meramu gagasan, ide dan pengetahuan sosial sehingga menjadi sikap dan budaya luhur.

Artinya manusia yang menjunjung tinggi budaya, kebudayaan, hadlarah, ummah, millah, adab yang nantinya membangun peradaban adalah manusia yang mengutamakan arah kemanfaatan dan kemaslahatan bagi khalayak luas. Kalau kembali kepada kata “membaca” di atas, maka dalam perspektif jawa dikenal dengan “Maos”, yang lebih jauh lagi menjadi “Rumaos”. Pemahamannya adalah maos berarti membaca, di samping itu juga ada proses melihat dan mendengar, sampai pada akhirnya menjadi berpikir, merenungkan atau tafakkur, sehingga dampaknya adalah bisa merasakan atau isa rumangsa, mampu merasa, bukan merasa mampu.

Kalau kita coba menilik sedikit pesan Allah, bahwa kita ini dilahirkan sebagai umat yang terbaik (sebagai umat kanjeng nabi Muhammad)[i], tetapi kebaikan itu akan muncul saat melakukan kebaikan dan tidak merugikan orang lain, menjauhi sikap-sikap yang berpotensi menjerumuskan diri pada kepicikan, kejelekan dan berbagai hasut, kemudian menguatkan iman kita kepada Allah dengan bekal olah cipta, rasa, pangrasa; jasmani, pikiran, dan hati. Dengan kata lain, prinsip dasar manusia berbudaya adalah menstabilkan pola pikir, kehendak dan spiritualitas.

Jangan sampai dalam konteks kebudayaan, kita sebagai manusia kerap mendahulukan kata pokok’e , sehingga lebih dekat pada sikap taqlid buta. Padahal manusia dilengkapi akal dan hati untuk berpikir sekaligus merasakan baik dan buruknya dampak dari apa yang dilakukan. Di satu sisi mengatakan bahwa berbudaya, berkesenian dan menjaga tradisi karena nenek moyang sebagai pendahulu mendapatkan petunjuk dari membaca dan merenungkan berbagai fenomena yang terjadi, sedangkan golongan yang lain, berbudaya, berkesenian dan menjaga tradisi hanya karena melok-melok, bahkan lebih pada kaum muqtadin (taqlid buta)[ii].

Artinya, budaya dan manusia adalah satu kesatuan, ibarat dua sisi mata uang yang saling berkaitan satu sama lain. Kapan ia menjadi pelengkap agar jumlahnya pas, kapan ia menjadi alat vital sebagai alat transaksi yang tepat, maka harus dipikir, dikaji dan selalu dikembangkan tanpa menghilangkan atau bahkan merusak pandangan-pandangan sebelumnya. Dari sini, budaya berarti bukan hanya sebatas ritual, tradisi atau bahkan kesenian tertentu. Nggableh.[]

 


[i] Qs. Ali Imron: 110

[ii] Qs. Azzuhruf: 22-23

Posting Komentar

0 Komentar