Makan Secukupnya, Cukup Makan Saja

Sumber: Bing Pinteres

Salah satu persoalan mendasar manusia adalah kebingungan dan kegundaha yang kaitannya dengan kemelekatan atas dirinya. Seakan-akan usaha itu berimbas kepada siapapun yang ada di sekitarnya, namun nyatanya tidak sama sekali.

 Anda mengambil air di sumur untuk mandi dan kebutuhan dapur, setelah kebutuhan anda terpenuhi maka sisa air tadi akan dipenuhi Kembali untuk kebutuhan yang baru, begitu seterusnya. Artinya, apa yang kita cari dan kita dapat tidak serta merta dapat memenuhi kebutuhan atau lebihnya keinginan yang kita punya.

Salah satu pesan Nabi kepada Sayyidina Ali KW., adalah “Barang siapa yang memakan makanan halal (baik, sehat, hasil jerih payah, bukan dari merugikan orang lain) maka akan diberi kejernihan berpikir baik dalam agama dan batinnya, khususnya hatinya, di samping itu tidak akan sama sekali dihalang-halangi doa yang dipanjatkan kepada Allah.

Persoalan mendasarnya adalah tercampuraduknya keinginan dan kebutuhan sehingga membuat ego semakin besar dan menutup diri atas kemaslahatan, sehingga lupa bahkan tidak tahu dari apa yang kita dapatkan ternyata ada rejeki orang lain, dari tukang becak, tukang ojek, tukan sapu, teman-teman penjual makanan kaki lima, dan lain sebagainya. Karena yang diingat adalah pemenuhan kebutuhan, keinginan dan kemelekatan.

Seorang pemuka Hindu yang Bernama Pak Dagpo Rinpoche mengatakan bahwa “alangkah baiknya bila kita melihat ke dalam diri kita sendiri bahwa dalam kenyataan sehari-hari kita selalu mengharapkan kebahagiaan dan berupaya untuk menghindari penderitaan.” Salah satu maklumat yang kita semua mafhum adalah “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” bahwa dengan menziarahi diri sendiri maka akan jelas dan tampak kebesaran Tuhan.

Karena sejatinya Tuhan memang begitu dekat, sehingga seharusnya apapun yang kita harapkan dan tujukan kepada Tuhan pasti didengar. Sayangnya karena kerap kali kita menghindari penderitaan dan seakan-akan mengejar kebahagiaan, maka kerap kali kita melupakanNya.

Yang dikhawatirkan adalah apa yang kita terima dan kita nikmati bersama keluarga atau kolega bukan pemberian yang dibarengi dengan keberkahan dari Tuhan. Pasalnya dalam mencari dan memenuhi kebutuhan hidup sama sekali tidak dengan hati yang bening, jiwa yang tenang dan pikiran yang jernih, kerap kali tergopoh-gopoh, jungkir balik, bahkan sampai terlunta-lunta.

Tipuan-tipuan dan sandungan itu memang kerap menghampiri, tetapi manusia diberi kemampuan untuk menentukan dan melangkah kepada yang lebih tepat, seperti pesan Tuhan bahwa “Iya, orang yang aku selamatkan wajahnya dari api neraka adalah mereka yang yang melakukan kebaikan (berusaha untuk melakukan kebaikan) sehingga tiada di dalam diri mereka ketakutan dan kesedihan.” 

Dengan begitu, tiada cinta yang bertepuk sebelah tangan dari Tuhan kepada hamba-hambanya. Hanya saja, keterbatasan berpikir manusia menyisakan belenggu besar yang menghalangi kejernihan hati untuk turut seta berperan dalam menentukan jalan yang tepat.

Segala kebutuhan, keinginan dan harapan pasti dapat tercapai, ini sejalan dengan Janji Tuhan bahwa setiap doa dan harapan pasti dikabulkan. Pertanyaannya adalah seberapa yakin dan besar hati kita untuk menerima dan mensyukuri apapun yang diberikan olehNya? Sehingga perjalanan yang kita lalui selalu memeiliki arti dan kebahagian yang menyelimuti. Kita akan lebih mudah menemukan maksud dari karep urip dan karep ati, yang mana karep urip adalah rangkaian dari titah yang sudah dituliskan untuk kita, baik dalam aspek kebutuhan primer maupun sekunder.

Sedangkan karep ati adalah hasrat dan gerak getar dalam jiwa yang mengatur kehidupan ini sehingga kita ada kontrol, rem, filter dan pengekang di kala akan atau berpikir untuk melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri, terlebih orang lain. Oleh seba itu, berkaca diri menjadi sangat penting dalam menentukan kebahagiaan yang sejati, yang mana kebutuhan dan kemelekatan di dalam diri adalah sesuatu yang fana, temporer. 

Yang abadi memang Tuhan, tetapi kebersihan hati dan pikiran akan membawa pada kesadaran bahwa manusia bisa mengabadi dengan – tanpa menumpuk kenyamanan untuk dirinya sendiri; berbagi. []

Posting Komentar

0 Komentar