Sang Renjana itu Masih Hidup



Pakis, Malang, Turen, Surabaya dan Blitar

Perjumpaan memang kerap menyisakan kisah yang membekas, sehingga menjadi kenangan di kala berpisah. 2020 akhir saya berjumpa dengan Mas George yang kelak akan menjadi teman diskusi, bahkan kerap mempengaruhi dalam berbagai keputusan menjalani pilihan-pilihan dalam kehidupan. Ia menawarkan satu konsep silaturrahmi tanpa batas. 

Pertengahan April 2021 saya bertemu kembali dengan beliau, Pakis menjadi saksi awal misi kebudayaan itu terjalin. Membangun sumberdaya manusia dengan pendidikan di universitas kehidupan. Fakultasnya beragam, belajar kepada para seniman, sesepuh kesenian, kyai dan akademisi. Formatnya adalah pendidikan untuk semua. 

Hampir tiap malam kami ngopi di Jabrik, tempat ngopi yang menunjukkan identitas pemiliknya, ya mas Jabrik namanya. Di Kauman Turen tempatnya. Di sana saya dikenalkan dengan banyak teman-teman oleh Mas George. Sampai akhirnya terbentuk misi membuat Literasi Turyan Tapadha. Representasi dari semangat literatif dari prasati yang ada di Watu Godek Turen. 

Di Pakis kami dipertemukan di Lesbumi, sebuah lembaga kebudayaan dan kesenian yang sejarahnya adalah strategi kebudayaan Nahdlatul Ulama. Walau hari ini masih dikenal sebagai lembaga, padahal dulunya adalah gerakan kebudayaan. Itu lain hal, yang terpenting adalah cerita perjumpaan ini. 

Di Turen, kami mencoba mendesain pola pengembangan strategi kebudayaan dengan mengaitkan problem yang dihadapi masyarakat dengan peluang keterbukaan pendidikan bagi siapapun. Kebetulan Mas George adalah dosen di UNISMA. Barang tentu dia memiliki misi Sang Renjana dalam kontek Humaniora itu. Walaupun ia adalah dosen Teknik. 

Prinsip Sapta Wikrama, kesamaan visi, Perjumpaan dengan Para Guru yang hampir sama, walaupun waktunya berbeda, tetapi cukup memberikan kesepakatan bahwa prinsip kebudayaan ini harus dijalani dan diusahakan bersama. Dari sini kami kerap bergantian untuk sekadar menyampaikan ide dan gagasan baik di forum yang penuh dengan uforia idealisme sampai yang sangat akar sekali. Pernah kami menghadiri undangan ruwatan desa di daerah Wajak dan Blitar, kemudian menyampaikan misi kebudayaan yang sampai hari ini hubungan kami sangat erat dengan para pelaku budaya di sana. 

Apalagi saat menyiapkan NU Award 2022, kami benar-benar hampir setiap hari bersama dan saling bertukar ide terkait konsep kebudayaan Budi dan daya itu. Kegalauan kami adalah kebudayaan hanya dipahami sebagai nalar kesenian dan eksistensionalitas semata. Padahal kebudayaan adalah olah rasa, olah pikir, olah nalar, olah bathin dan karsa dalam menyikapi riuh sesaknya kehidupan. 

Misi ini yang akhirnya kami pertegas dan tashihkan kepada mas Irfan Afifi dan Raden Abdullah Tulungagung. Saat itu kami hanya berangkat berdua saja ke Blitar untuk sekadar ngopi dengan Raden Abdullah, dan ndilalah dapat kabar kalau Mas Irfan pulang dari Jogja. Akhirnya setelah dari Blitar kami putar Bali motor CB yang kami tunggangi ke Dau. 

Cerita kebudayaan itu sangat panjang, kegalauan, kegembiraan, dan nafas panjang perjalanan itu menyisakan kelegaan saat pintu-pintu relasi terbuka untuk menopang misi kebudayaan kami. Baik dari lingkungan akademisi sampai politisi sekalipun. 


***



Rembug Pawon, UNISMA, BWCF

Salah satu yang menopang misi kebudayaan yang kami jalani adalah teman-teman ngopi di Rembug Pawon, di mana pak Iman dan Gus Basyir akhirnya menjadi pembimbing kami menjalankan misi tersebut. 

Di UNISMA kami mencoba mempresentasikan kebudayaan di akar rumpun yang tentunya dapat menjadi masukan untuk menyusun body of knowledge, sehingga UNISMA dapat hadir sebagai kampus yang mengenyampingkan nilai "elitisnya" untuk menyapa semua kalangan di bawah dan memberikan kesempatan untuk semua dalam aspek pendidikan. 

Mas George mengajak saya untuk menemui salah satu Tokoh kebudayaan yang ternyata juga orang Malang namun tinggal di Jakarta, Pak Seno namanya. Di situlah saya akhirnya ketemu lagi dan nyambung rasa lagi dengan Mas Ready, Lek Jumali, Pak Iman Suwongso, Biyung Donik dan teman-teman kobis. Akhirnya kami dilibatkan dalam proyek BWCF (Borobudur Writers and Culture Festival) di Tengger dan UM. 

Mas George semakin menggebu tentang bagaimana proses untuk mewujudkan misi kebudayaan itu. Akhirnya saya dipertemukan dengan petinggi lakspesdam Kabupaten Malang dan Jawa Timur. Saat itu kami mencoba menawarkan konsep akar rumpun untuk menjadi pondasi penting dalam membangun sumber daya manusia. Pendekatannya adalah kebudayaan dan aksinya adalah memberikan pendidikan dan meningkatkan kualitas diri. 

Para petinggi lembaga tersebut mengiyakan dan akan menggelar rapat bersama terkait menata misi kebudayaan yang lahir dari strategi kebudayaan Sapta Wikrama Lesbumi NU oleh Kyai Agus Sunyoto.

***

Namun ia sudah pergi, Mas George pulang duluan. Misi kebudayaan itu sedikit demi sedikit mulai terang, tapi mas George sudah kepalang rindu sama Kanjeng Nabi dan para wali. Akhirnya ndisik i kami semua. 

Semangatnya itulah yang sampai pada detik ini saya masih merasa masih ada di sini. Masih membersamai, masih menggandeng tangan, dan membonceng saya. Ia memang telah pergi tetapi tidak untuk meninggalkan kami, melainkan membimbing dan mendoakan kami dari sana. 

Sekarang dia sedang menceritakan misi kebudayaan ini kepada Kanjeng Nabi Muhammad, Para Wali, Mbah Hasyim, Mbah Wahab, dan Khususnya cerita kepada Mbah Yai Agus Sunyoto.[]


Posting Komentar

0 Komentar