Sumber Gambar: Meeta |
Beberapa hari ini saya agak terpancing untuk scroll-scroll video tentang pembullyan atau perundungan di lembaga pendidikan. Kasus bullying yang dilakukan oleh anak-anak SMP di Cilacap agaknya bukan kasus yang baru dalam hal perundungan. Ada rangkaian kasus-kasus perundungan sebelum-sebelumnya.
Korban bullying tentu tidak hanya pada fisik dan psikisnya, tetapi juga moralitas lembaga menjadi dipertanyakan. Orang melihat lembaga pendidikan tentu pada aspek kualitasnya, ide dan gagasannya, visi dan misi yang terealisasi. Sayangnya, lembaga pendidikan saat ini, tentu tidak semua, berdiri pada kaki kuantitatif.
Pendirian lembaga pendidikan tidak hanya pada aspek perjuangan dan pengabdian menyebarluaskan nilai-nilai dan moral sosial. Tetapi ada aspek bisnis yang tentu obrolannya adalah untung rugi, puas atau tidak, menjual atau tidak, dan lain sebagainya.
Bagaimana lembaga pendidikan setiap tahun memiliki pola marketting dan manajemen pemasaran yang harus selalu update. Sampai-sampai singkong disulap jadi lemet, yang katanya ketan ternyata menggek, yang katanya apem ternyata ketan dang-dangan. Memang ini bagian dari inovasi. Tetapi basis ontologisnya piye? Kog sama sekali tidak digubris.
Orang sudah tahu bahwa singkong itu enak, tapi akan berpikir ulang untuk membeli ketika dijual mentah glondongan. Beda ketika dikemas dengan kemasan yang menarik, sesuai pasar, daya saing jelas. Tapi apakah itu semua menjamin moralitas sosial terbentuk. Paling tidak, ketika membuka kemasan singkong keju kita sadar bahwa ada keringat petani di sana, ada tangan-tangan bapak dan ibu yang berusaha menafkahi keluarganya atau apalah yang kaitannya dengan moral normatif kemanusiaan.
Kita juga tidak bisa serta merta menyalahkan atau membenarkan. Ini persoalan evaluasi. Persoalan mau berkaca diri atau tidak. Baik lingkungan pendidikan, orang tua dan sosial sama-sama memiliki pengaruh atas problem perundungan bahkan kekerasan pada anak dan perempuan sekalipun.
Makanya, tiga dosa besar pendidikan yang menurut kemendikbudristek harus dihapus dalam lingkungan pendidikan tentu harus disiapkan basis ontologis dan epistimologisnya.
Kita hanya akan mandeg jegrek ketika ngalor ngidul bicara anti bullying tapi dalam tubuh terkecil kelembagaan atau komunikasi sosial kita justru masih muncul perundungan yang tidak disadari. Semisal, mengangkat diri sendir dengan cara menjatuhkan orang lain, dengan cara menjual kelemahan orang lain bahkan mencari-cari kesalahan orang lain. Ini kan persoalan personal yang diakumulasikan sampai menjadi gerak bola salju.
Lembaga pendidikan setiap tahunnya bertambah secara kuantitatif, pun praktik-praktik tiga dosa besar pendidikan turut berkembang sejalan dengan jumlah lembaga pendidikan yang semakin menjamur. Jadinya kog paradoks dan ada ketimpangan yang melok-melok cetho welo-welo di depan mata, tapi hampir semua orang diam menyaksikan itu semua.
Apakah ini masalah kepekaan? Saya kira, persoalannya justru muncul pada bagaimana membangun komunikasi interdisipliner. Setiap orang memiliki daya dominasi, tapi sama sekali tidak ditempatkan pada hasrat yang tepat. Cenderung ingin diagungkan, dimulyakan dan disanjung-sanjung. Sehingga harus nihil kesalahan. Lah ini tentu menyalahi kodrat Tuhan. Kita ini ya harus ada salah-salahnya, biar ada maaf-maafan. Kalau maunya benar terus, lantas bagaimana laju harmonisasi kehidupan.
Perundungan dan kekerasan harusnya menjadi dasar dan kesadaran setiap personal bahwa untuk menjadi lebih di antara yang lain bukan memaksakan atau menjatuhkan, tetapi membangun kualitas diri.
Semisal, role model kita Kanjeng Nabi Muhammad, mbok ya kita harus sadar, bahwa nabi diutus oleh Tuhan untuk membina kita sebagai manusia agar selalu meningkatkan kualitas diri. Sehingga membentuk moral. Inilah basis afeksinya.
Jangan sampai kambing yang seharusnya mengembik harus disulap untuk menggonggong, bahkan memakan daging sesama kambing.
0 Komentar