Tapa ing ngrame, menahan diri dalam keramaian, kekalutan dan kebisingan. Sebuah ajaran kebudayaan yang hampir bahkan sama sekali dihiraukan oleh kebanyakan orang.
Bagaimana ritus sosial membuat nilai dan citra diri lebih nampak dan eksis, justru menjadi gerak yang didamba-dambakan. Alkisah hanya menguap begitu saja, geraknya, ucapannya, tingkah lakunya sama sekali jauh dari apa yang diucap-gaungkan.
Mbah-mbah kita selalu mengajarkan tentang belajarlah kepada siapapun, belajarlah sampai kapanpun. Nabi secara terang-terangan menegaskan bahwa belajar itu fasenya sejak lahir sampai di dalam pusara.
Tapa ing ngrame sejatinya belajar untuk menahan diri, melaju dan membatin ke dalam diri, refleksi dan merenungi harus selalu menjadi ruang gerak yang tak henti.
Dalam pendekatan budaya, manusia memiliki nilai dari olah rasa, olah cipta dan olah karsa, paling mendasar adalah olah raga. Bagaimana kita meramu semua olahan dengam latar belakang pengetahuan sehingga membentuk karakter yang tegas.
Ndeleng gajah di depan mata kadang lebih susah daripada memandang semut di ujung gunung nan menjulang.
Oleh karenanya, meramu diri, merefleksi diri, menyelam sedalam batin, menuju pada kesadaran yang inti adalah gerak berdamai dengan diri sendiri tanpa terbebani oleh eksistensi dan warna-warni kehidupan.
0 Komentar