Beberapa hari lalu saya dilibatkan oleh MAARIF Institute melalui Pak Shofan untuk menjadi notulensi dan Dokumentator Pelatihan LOVE (Leaving Values Our Everyday) di Lamongan.
Setelah kegiatan tersebut saya ikut pulang pak Shofan ke Gresik di Daerah Dukun Sambogunung. Kami bercerita banyak hal, persinggungan dinamika keagamaan lintas organisasi juga menjadi perbincangan hangat.
Tidak hanya itu, perbincangan yang menyinggung keluarga kecil juga menjadi pembahasan yang interpretatif. Seni dalam berumah tangga, membersamai orang tua dan keluar dari problem realita sosial adalah tema besar dalam perbincangan.
Namun, bukan hal di atas yang ingin saya share ke teman-teman. Agaknya perlu waktu luang untuk mendiskripsikan perjumpaan saya dengan Pak Shofan.
Saya ingin share perjumpaan saya dengan dua orang yang pekerjaannya sama. Sopir, saya bertemu dua orang supir dalam perjalanan dari Dukun ke Bunder, pertama perjalanan saya dari dukun ke Manyar saya naik angkot yabg dikemudikan oleh Pak Kusnan.
Pak Kusnan |
Seperti biasa, perjumpaan itu kami awali dengan basa-basi perkenalan. Kami saling menjelaskan curiculum vite masing-masing, walau tidak detail. Lalu saling bercerita perjalanan hidup. Tentu saya lebih banyak mendengar, karena pak Kusnan memiliki segudang pengalaman. Baik bekerja di Gresik sampai merantau ke luar Gresik.
Ia bercerita bagaimana perjalanan ketika merantau di Kalimantan. Makan singkong dan Mie Instan. Sampai akhirnya pulang dalam keadaan kurang sehat badannya. Ia juga menceritakan bagaimana memahami konsep rejeki dari Tuhan melalui pekerjaannya yang sekarang.
Sepanjang perjalanan ke Manyar, saya benar-benar disuguhi cerita survaive yang luar biasa. Sampai akhirnya, ia merespon kondisi jalan di wilayahnya bekerja. Bagaimana muatan-muatan besar miliki salah satu penguasa di Gresik yang kerap seenaknya sendiri melenggang. Tidak ada terpal yang menutupi muatannya sehingga debunya kemana-mana, bahkan ketika kecelakaan kerap selesai begitu saja, tanpa ada tindak lanjut atau evaluasi.
Ia menyayangkan problem-problem yang terjadi di wilayahnya. Pak Kusnan sebagai rakyat kecil tidak ingin bahkan tidak ada samasekali ambisi menjadi orang terpandang, ia hanya berusaha menjadi suami dan seorang ayah yang bertanggung jawab atas keluarganya.
Ia hanya mencari sesuap nasi bukan ambisi. Ia juga menunjukkan proyek-proyek yang kerap mengganggu roda ekonomi pekerja di jalanan. Macet, polusi, bahkan akomodasi transportasi yang sedikit demi sedikit tergerus oleh kebijakan dan peluang-peluang dari kemajuan teknologi.
Saya melihat Pak Kusnan sebagai wajah dsri rakyat yang sebenarnya tidak rela dengan ragam pembangunan. Pembangunan yang nihil kepentingan rakyat. Nihil kemanusiaan dan nihil keberpihakan.
Sesampai di Manyar saya pindah angkot menuju bunder. Di sana saya naik angkot warna orange, berebut dengan pegawai indusri makanan cepat saji yang baru pulang.
Pak Nur namanya, ia adalah supir angkot yang penuh gelak canda dan tawa. Tidak ada wajah susah, selalu sumringah. Bahkan ketika menimpali kawan-kawannya sesam supir atau tukang parkir.
Pak Nur |
Ia mengawali perbincangan dengan bertanya "Sampean asline ndi?" sampean asli orang mana? Saya jawab, saya asli Malang. Seketika ia bercerita pengalamannya menjadi supir dari salah satu perusahaan yang kerap kirim barang ke daerah Malang Lumajang.
Tidak hanya itu, ia juga hapal tempat-tempat ngopi legenda di pojok-pojok Malang. Gaya bicaranya seperti Tokoh Lawak Jawa Timur, Kartolo. Mirip sekali, bahkan Joke-joke yang dikeluarkan tidak jauh beda. Saya menyangka dia penggemar beratnya.
Dari perjumpaan dengan dua orang itu saya mendapatkan pengalaman bahwa kehidupan itu naik turun, polanya lentur dan tidak kaku. Bahkan tidak perlu sama sekali untuk digubris, fokus pada tanggung jawab sebagai manusia.
Baik pak Kusnan dan pak Nur adalah representatif dari rakyat kecil yang sehat dohir batinnya. Yang original gaya komunikasinya. Tanpa kepentingan untuk saling mendominasi bahkan cenderung mengasihi.
Dari sini saya yakin, kenapa orang indonesia ini memiliki hati yang luas. Diinjak-injak saudaranya sendiripun mudah memaafkan. Bahkan tanahnya dirampas pelan-pelan juga tidak marah. Karena kejujuran itulah maka Tuhan tidak akan tega melihat orang Indonesia sengsara. Perkara yang memiliki sifat rakus kog masih meraja lela, itu adalah bukti, bahwa manusia memiliki dua sifat yang kadang mendominasi, hewan dan malaikat.
0 Komentar